BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
A. Ilmu Akhlak diluar Agama Islam.
1. Akhlak pada Zaman Yunani
Pertumbuhan
dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana
(500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah
pada penyelidikannya mengenai alam.
Sejarah
mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di
bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates[1]
dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha
sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu
pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu
tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu
pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu.[2]
Selanjutnya,
Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya
ialah Cynics[3] dan Cyrenics[4]. Golongan
Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444-370
SM.Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan,
dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai
konsekuensinya,golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia
sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak
suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang,
yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Adapun
golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippos[5] yang
labu di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat
bahwamencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya
tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang
tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian
menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan
dan mengutamakannya.
Pada tahap
selanjutnya datanglah Plato[6]
(427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates.
Dalam pandangan terhadap akhlak,Plato berupaya memadukan antara unsur yang
datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari
diri manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur
dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak.
Perpaduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi orang yang
utama.
Setelah Plato,
datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles
berupaya membangun suatu paham yang khas, danAristoteles berpendapat bahwa
tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah
bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan
akal dengan sebaik-baiknya.
Atistoteles[7]
juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa
tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan
misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah
tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.
Selanjutnya
pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics[8]
dan Epicurus[9].
Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan.
Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah
dikemukakan di atas. Sementara Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham
Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan juga di atas. Paham mereka banyak
diikuti di zaman baru.
2. Akhlak Pada Zaman Nasrani
Pada akhir abad ke 3 Masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam
kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak.
Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di
pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain itu agama Nasrani
menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat
pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan.
Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri
manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari
paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini
suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup
menyendiri[10].
3. Akhlak pada abad Pertengahan (bangsa romawi)
Kehidupan
masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah
diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar
adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran
untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak
bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki
perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu
penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun
demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato,
Aristoteles dan
Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat
yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan
demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu
adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan
ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis
(1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan
Italia (1226-1274).
Corak ajaran
akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran
agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat
dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum
Muktazilah[11].
B. Akhlak Pada Agama Islam
1. Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa
Sebelum Islam
Bangsa Arab
pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani
(Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian,
Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman
Al-Hakim[12]
, Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim
Ath-Tha’i.
Dapat dipahami
bahwa Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang
minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan
mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum
sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf Yunani
kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan akhlak.
2. Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
Islam datang
mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu
di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya
pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana
halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia,
Allah SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti
kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari
manusia, seperti dusta dan kezaliman.
Dalam Islam,
tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang
akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan
Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam
islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
teori.[13]
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak
adalah Ali bin Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya
untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam
risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan.
Kandungn risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang
banyak dikutip oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari
dalam kitanya Az-Zawajir wa Al-Mawaizh.
Kedua, tokoh Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah
Isma’il bin Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis
kitab Al-Mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali
dikenal dalam Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun
mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar
bin Yasir, Nauval Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
Ketiga, pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis
kitan Al-Mani’at min Dukhul Jannah. Tokoh lainnya yang
berbicara masalah akhlak adalah:
1. Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf
lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang
akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani (Kesehatan Rohani). Buku
ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya. Kitab ini merupakan filsafat
akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral manusia.
2. Pada ke-4 H, Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis
kitab Al-Adab dan Makarim Al-Akhlaq.Pada abad ini
dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak.
Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428
H).
3. Pada ke-5, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis
kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan Adab
Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak
yangsebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan
Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan
pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[14]
4. Pada abad ke-6 H, Warram bin Ali
al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada abad ke-7 H, Syaikh Khawajah nashir
Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah wa Awshaf
Asy-Syraf wa Adab Al-Muta’allimin.
Pada abad
berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami,
Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan
bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi,
dan Bihar Al-Anwar.
C.
Akhlak Pada Zaman Baru
Pada abad pertengahan ke-15
mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali
juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat
pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran
yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka
kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka bangun didasarkan
pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti
gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada
manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini
menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya
tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan,
dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya
pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka
menjadi anggota masyarakat yang mandiri.[15]
Ahli filsafat Perancis yaitu
Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1. Tidak
menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang
didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja,
wajib di tolak.
2. Di
dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang
semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih
dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3. Wajib
bagi kita jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga
menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada
paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan
Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran
pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham
(1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari
faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah keadaannya muncul Green
(1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham
pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pertumbuhan
dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana
(500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah
pada penyelidikannya mengenai alam.
Pada akhir abad ke 3 Masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam
kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak.
Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di
pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Kehidupan
masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah
diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar
adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran
untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak
bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki
perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu
penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Bangsa Arab
pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani
(Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian,
Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman
Al-Hakim , Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma
(530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Islam datang
mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu
di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya
pula, alam dapat berjalan secara beraturan. Dalam Islam, tidak diragukan lagi
bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan,
keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak
Pada masa
modern banyak bermunculan para filosof dan pemikir yang banyak melakukankritik
dan pembaharuan termasuk di bidang akhlak. Selanjutnya pandangan akhlak mereka
diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat
yang mandiri.
2.
Saran
Sebagai
mahasiswa hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah perkembangan
akhlak untuk memperbaiki etika dan pribadi serta menjadi agen of change, karena
moral yang semakin bobrok seiring perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani,
filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV.Pustika
Setia,2008
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak),
Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Ibnu
Miskawaih, Menuju Kesempurnaan
Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985
[1]
. socrates adalah filsuf dari Athena dan merupakan salah satu
figur paling penting dalam tradisi filosofi barat. Socrates lahir di Athena,
dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani yaitu
Socrates, Aris toteles dan Plato. (Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008,177)
[3] . Sekelompok
filsuf Yunani dari sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup
adalah hidup dengan prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara
tokohnya adalah Antisthenes yang menjadi murid Socrates. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cynic), 4 oktober 2016
[4] . Sekelompok
filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara
tokohnya adalah Aritippus of Cyrene (Lahir 435 SM). (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cyrenics), 4 oktober 2016
[5]. Aristippos adalah salah satu seorang filsuf
dari Mazhab Hedonis, ia adalah pendiri Mazhab tersebut. Ia salah satu murid
Socrates, dan mengembangkan pandangan Socrates bahwa keutamaan hidup manusia
adalah mencari kebaikan. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Aristippos), 4
oktober 2016
[6]. Hakim dan Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai
Teofisolofi………, 190
[7]. Ibid, 215
[8]. Kaum Stoics adalah kelompok yang menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap
kemudian berkembang pesat di Roma. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoic), 4 oktober 2016
[9]. Epicurus dilahirkan di Samos dan memperoleh pendidikan
di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Epikuros) 4 oktober 2016
[11]. Ibid, 65-66
[12]. Luqman
Al-Hikmah adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman yang terkenal
karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama
panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim). 27 September 2016
[15]
. Nata, Akhlak Tasawuf,……………, 69
No comments:
Post a Comment