Monday, 10 October 2016

Akhlak tasawuf: Sejarah dan Pekembangan Ilmu Akhlak



BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
A.  Ilmu Akhlak diluar Agama Islam.
1.    Akhlak pada Zaman Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates[1] dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu.[2]
Selanjutnya,  Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya ialah Cynics[3] dan Cyrenics[4]. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444-370 SM.Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai konsekuensinya,golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang, yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippos[5] yang labu di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwamencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan mengutamakannya.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato[6] (427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates. Dalam pandangan terhadap akhlak,Plato berupaya memadukan antara unsur yang datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari diri manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak. Perpaduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi orang yang utama.
Setelah Plato, datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles berupaya membangun suatu paham yang khas, danAristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
Atistoteles[7] juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.

Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics[8] dan Epicurus[9]. Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. Sementara Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan juga di atas. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru.

2.    Akhlak Pada Zaman Nasrani
Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup menyendiri[10].

3.    Akhlak pada abad Pertengahan (bangsa romawi)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang  telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran  akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah[11].

B.  Akhlak Pada Agama Islam
1.    Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Sebelum Islam
Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim[12] ,  Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar  pemikiran yang minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf Yunani kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan akhlak.

2.    Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia, Allah SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari manusia, seperti dusta dan kezaliman.
Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori.[13]
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan. Kandungn risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang banyak dikutip oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari dalam kitanya Az-Zawajir wa Al-Mawaizh.
Kedua, tokoh Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Isma’il bin Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar bin Yasir, Nauval Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
Ketiga, pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitan Al-Mani’at min Dukhul Jannah. Tokoh lainnya yang berbicara masalah akhlak adalah:
1.  Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani (Kesehatan Rohani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya. Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral manusia.
2.  Pada ke-4 H, Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis kitab Al-Adab dan Makarim Al-Akhlaq.Pada abad ini dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428 H).
3.  Pada ke-5, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan Adab Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yangsebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[14]
4.  Pada abad ke-6 H, Warram bin Ali al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5.  Pada abad ke-7 H, Syaikh Khawajah nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Syraf  wa Adab Al-Muta’allimin.
Pada abad berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami, Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.

C.           Akhlak Pada Zaman Baru
Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak.  Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.[15]
Ahli filsafat Perancis yaitu Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1.  Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja, wajib di tolak.
2.  Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3.  Wajib bagi kita jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham (1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah keadaannya muncul Green (1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.




BAB III
PENUTUP

1.             Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang  telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim ,  Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan. Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak
Pada masa modern banyak bermunculan para filosof dan pemikir yang banyak melakukankritik dan pembaharuan termasuk di bidang akhlak. Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.
2.             Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah perkembangan akhlak untuk memperbaiki etika dan pribadi serta menjadi agen of change, karena moral yang semakin bobrok seiring perkembangan zaman.


DAFTAR PUSTAKA


Hakim,Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani, filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985




[1] .  socrates adalah filsuf dari Athena dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofi barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani yaitu Socrates, Aris toteles dan Plato. (Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008,177)
[2].   Ahmad Amin, Etika(Ilmu Akhlak), Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, 141
[3] .  Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup adalah hidup dengan prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara tokohnya adalah Antisthenes yang menjadi murid Socrates. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cynic), 4 oktober 2016
[4] .  Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara tokohnya adalah Aritippus of Cyrene (Lahir 435 SM). (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cyrenics), 4 oktober 2016
[5].   Aristippos adalah salah satu seorang filsuf dari Mazhab Hedonis, ia adalah pendiri Mazhab tersebut. Ia salah satu murid Socrates, dan mengembangkan pandangan Socrates bahwa keutamaan hidup manusia adalah mencari kebaikan. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Aristippos),  4 oktober 2016
[6].   Hakim dan Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi………, 190
[7].   Ibid, 215
[8].   Kaum Stoics adalah kelompok yang menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap kemudian berkembang pesat di Roma. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoic), 4 oktober 2016
[9].   Epicurus dilahirkan di Samos dan memperoleh pendidikan di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Epikuros) 4 oktober 2016
[10]. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, 55-56
[11]. Ibid, 65-66
[12]. Luqman Al-Hikmah adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman yang terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim). 27 September 2016
[13].        Nata, Akhlak Tasawuf,……...., 57
[14] . Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985, 14
[15] . Nata, Akhlak Tasawuf,……………, 69

No comments:

Post a Comment