seseorang yang sabar itu pasti bisa akan meraih keinginannya di kemudian hari, kata sabar juga akan menerjang krikil-krikil yang menghadang kita di dalam kehidupan ini. maka dari itu mulailah dari sekarang untuk mncoba besabar dalam semua hal, insya allah ada jalan yang terbaik buat kita
Sunday, 16 October 2016
Saturday, 15 October 2016
Wednesday, 12 October 2016
Ilmu Tauhid : Karakteristik Aqidah Islam
A. PEMBAHASAN
1.
KARAKTERISTIK
AQIDAH ISLAM
a) TAUFIQIYAH
Kata
Taufiqiyah adalah bentuk taf’il dari akar kata waqf yang berarti pelanggaran dan pengungkungan.
Imbuhan ya berfungsi menisbatkan.
Begitu pula dengan huruf taa. Jadi
kata ini merupakan bentuk masdhar
shina’i.
Pertama, Rasulullah
SAW telah menjelaskan semua rincian muatan Aqidah Islam. Beliau tidak
membiarkan satu bagian pun lepas dari penjelasan. Sebab Aqidah merupakan bagian
terpenting dari seluruh muatan agama. Allah berfirman:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ
لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسۡلِيمٗا ٦٥
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka yang
menjadikan kamu hakim dalam perkara mereka yang perselisihkan, kemudian tidak
merasa keberatan dalamdiri dan mereka menerima apa yang kamu putuskan”.[1]
Kedua, harus
konsisten dengan lafaz dan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam menyatakan
berbagai hal tentang Aqidah, kita tidak menggunakan lafaz-lafaz yang tidak
digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi ini merupakan pembatas sumber Aqidah
Islam, baik pada lafaz maupun gaya ungkapannya. Ketidak mampuan akal menemukan dalil
untuk menemukan muatan-muatan tersebut dianggap sebagai penetap atas pengetahuan
tentang adanya dalil yang menetapkan muatan-muatan itu, dan tidak dinggap sebagai
kemungkinan adanya dalil lain yang menetapkan muatan-muatan aqidah seperti dalil
pendengaran (Al-Qur’an dan Sunnah) dan dalil indra.
Dengan
demikian, maka lafaz-lafaz yang digunakan dalam Aqidah Islam ada dua macam:
1.
Lafaz-lafaz dari
Al-Qur’an dan Sunnah. Lafaz-lafaz ini dianggap benar jika ia sesuai dengan makna-maknanya
yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Lafaz-lafaz yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Lafaz-lafaz ini ada yang sudah
menjadi istilah yang konotasinya terhadap kebenaran bersifat mutlak dan jelas.
Semua lafaz yang keluar dari lafaz-lafaz
Al-Qur’an dan Sunnah dengan segala konotasinya, tidak boleh digunakan dalam bidang
Aqidah. Lafaz semacam itu dianggap sebagai lafaz
bid’ah. Selanjutnya, lafaz-lafaz bid’ah ada empat macam:
Ø Pertama, lafaz-lafaz
umum yang maknanya tidak bisa dibatasi karena keragaman pengguna.
Ø Kedua, lafaz-lafaz
dengan konotasi yang beragam dan tidak ada alas an penguat untuk menggunakan lafaz-lafaz
tersebut pada satu makna tunggal. Lafaz-lafaz semacam ini tidak boleh digunakan
dalam bidang aqidah untuk menghindari percampur bauran kebenaran dan kebatilan.
Ø Ketiga, lafaz-lafaz
yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan makna-makna yang sudah jelas dan
tegas, namun digunakan di luar makna-makna tersebut atau diberikonotasi lain
yang tidak masuk dalam subtansi maknanya yang sebenarnya. Penggunaan lafaz ini dengan
makna seperti itu dianggap bid’ah.
Ø Keempat, lafaz-lafaz
yang hanya digunakan untuk konotasi kebenaran, tapi kemudian digunakan untuk konotasi
kebatilan dengan maksud menjelek-jelekan kebenaran dan membuat orang
menghindarinya,atau karena memang penganut madzab itu meyakini bahwa lafaz-lafaz
itu memang berkonotasi batil. Ini juga dianggap bid’ah yang haram.
Konsekuensi-konsekuensi
Taufiqiyah
Ø Membatasi
sumber-sumber pengmbilan Aqidah Islam hanya dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan segala
makna dan konotasinya.
Ø Konsisten
dalam penggunaan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah dalam mengungkap hakikat-hakikat
aqidah.
Ø Menggunakan
lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan makna-makna yang sebenarnya.
Ø Tidak
member muatan makna lain terhadap lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah yang memang tidak
dikandungnya.
Ø Dalam
menjelaskan hakikat-hakiakat aqidah kita hanya menggunakan lafaz-lafaz yang
memang hanya digunakan untuk makna-makna dan hakikat tersebut.
Ø Apa
yang dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah kita diamkan dan menyerahkan masalah itu kepada
ilmu Allah.
Ø Komitmen
dengan hakikat-hakikat aqidah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ø Tidak
boleh menetapkan atau menafikan kecuali apa yang ditetapkan atau dinafikan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah.
b) GHAIBIYAH
Kata
ghoibiyah adalah kata yang
dinisbatkan kepada kata ghaib(gaib).
Yaitu apa yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra (tidak dapat di cium,
diraba, didengar). Allah berfirman:
وَهُوَ
ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ قَلِيلٗا
مَّا تَشۡكُرُونَ ٧٨
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran,
pengliatan dan hati. Sangat sedikitlah kamu bersyukur”.[2]
Ketika
kita mengatakan bahwa salah satu spesifikasi Aqidah Islam adalah keghaiban, itu
sama sekali tidak berarti bahwa semua muatan aqidah bersifat gaib dan tidak dapat
ditangkap panca indra dan akal. Tetapi maksudnya adalah bahwa salah satu spesifikasi
Aqidah Islam adalah bahwa ia percaya kepada apa yang gaib seperti yang
difirmankan Allah tentang sifat-sifat orang beriman:
الٓمٓ
١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ
يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ
يُنفِقُونَ ٣
“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu
mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka”.[3]
Iman
kepada yang gaib merupakan fitrah manusia. Ada banyak demensi kehidupan kita
yang dulu merupakan sesuatu yang gaib, tapi kini telah menjadi realitas yang
tampak secara konkrit. Ini disebut kegaiban terikat, yaitu kegaiban yang telah ditakdirkan
dan diizinkan Allah untuk dapat ditemukan oleh seluruh atau sebagian manusia.
Istilah
ilmu ghoib yang sering disebut dalam Al-Qur’an biasanya digunakan untuk 3
bentuk keghoiban. Yaitu, keghoiban mutlak, keghoiban terikat relatif, keghoiban
terikat non relatif.
Keghoiban
mutlak dapat dilihat dalam ayat berikut :
إِنَّ
ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ
وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ
أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang
ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di
bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[4]
Keghoiban
terikat relatif dapat dilihat dalam ayat berikut :
ذَٰلِكَ
مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهِ إِلَيۡكَۖ وَمَا كُنتَ لَدَيۡهِمۡ إِذۡ
أَجۡمَعُوٓاْ أَمۡرَهُمۡ وَهُمۡ يَمۡكُرُونَ ١٠٢
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka,
ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan
mereka sedang mengatur tipu daya”.[5]
Keghoiban
terikat non relatif dapat dilihat dalam ayat berikut :
الٓمٓ
١ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ
غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ ٣
“Alif Laam Mii. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. di negeri yang
terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang”.[6]
Keghoiban
itu hanya diketahui oleh Allah, dan itu merupakan keistimewaan baginya, Allah
berfirman :
وَلِلَّهِ
غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ
وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ١٢٣
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi
dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan”.[7]
Jika
pengetahuan tentang yang ghoib itu merupakan hak prerogatif yang menjadi
kekhususan Allah, maka mencari hakikat keghoiban itu pada selain adalah betuk
penyia-nyiaan waktu. Dan siapa saja mengklaim mengetahui keghoiban tidak
diragukan lagi kebohongannya. Bahkan menyakini adanya pihak yang mengetahui
keghoiban selain allah adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari islam.
Allah berfirman :
مَّا
كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ
يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطۡلِعَكُمۡ عَلَى ٱلۡغَيۡبِ
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجۡتَبِي مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُۖ فََٔامِنُواْ بِٱللَّهِ
وَرُسُلِهِۦۚ وَإِن تُؤۡمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمۡ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٧٩
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman
dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya
di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang
besar”.[8]
Dari
sini menjadi jelaslah kebohongan orang-orang yang mengklaim mengetahui
keghoiban seperti para peramal dan dukun serta lainnya. Menyakini bahwa mereka
mengetahui keghoiban adalah kekufuran dan kembali kepada mereka untuk
menanyakan suatu yang ghoib tanpa menyakini bahwa mereka mengetahui yang ghoib
adalah dosa besar.
Beriman
kepada yang goib adalah dasar paling penting dari keseluruhan muatan aqidah
islam, dimana seorang tidak disebut Muslim kecuali dengan keimanan tersebut. Walaupun
itu tidak berarti bahwa manusia harus berlebihan menyakini yang ghoib yang
sebenarnya tidak ada sehingga ia terjerumus dalam khurafat. Itu adalah
kelatahan dalam memahami makna iman kepada yang ghoib. Keghoiban yang harus
diyakini adalah keghoiban yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta
menyerahkannya kepada ilmu Allah, tanpa perlu tenggelam dalam khayalan-khayalan
batil serta waham-waham palsu.
c) SYUMULIYAH
Aqidah
islam adalah aqidah yang diturunkan untuk tugas khilafah manusia dibumi yang
telah ditakdirkan untuk eksis selamanya hingga hari kiamat.
Arti
syumuliyah adalah integralitas dimensi substansi dan aplikasi. Dimensi substansi
berarti bahwa aqidah ini mempunyai persepsi yang integral tentang
masalah-masalah besar manusia-dimana banyak manusia yang tersesat dalam mencari
dan memahaminya-seperti persepsi tentang Tuhan, manusia, alam dan kehidupan.
Dalam
alam besar itu manusia hanya merupakan salah satu ciptaan Allah. Namun
demikian, manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan
apa-apa selain kekuatan yang diberikan oleh Allah Tuhan semesta alam.
Maka
hubungan manusia dengan alam adalah hubungan pendayagunaan. Allah berfirman;
وَسَخَّرَ
لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ١٣
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa
yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir”.[9]
Allah
adalah sembahan yang benar kepada siapa manusia harus mengerahkan seluruh
tenaga dan potensinya untuk menunaikan ibadah dan mensyukuri nikmatnya yang tak
terhingga.
Alam
adalah panggung tempat manusia mementaskan fungsi khilafahnya. Maka ia
ditundukkan menjamin keberlangsungan fungsi tersebut. Tetapi keduanyaadalah
ciptaan tuhan yang maha pemurah, yang menciptakan segalanya dengan sempurna dan
memberikan semua fasilitas yang di butuhkan makhluk-Nya untuk hidup dan
bertahan hidup.
Kewajiban
Komitmen Kepada Aqidah yang Benar
Aqidah
yang benar adalah aqidah yang telah di tetapkan dengan lafas dan makna
AL-qur’an dan sunnah. Itulah aqidah kepada apa kita harus memberi komitmen.
Kita tidak boleh mengatakan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami konotasi
dalil-dalil Al-qur’an dan Sunnah.
Asumsi
perbedaan pemahaman terhadap konotasi dalil-dalil tersebut adalah sama dengan
mengasumsikan adanya kebenaran yang tidak di kenal. Asumsi itu sesungguhnya
bertujuan membatalkan keabsahan nash-nash Al-qur’an dan Sunnah yang pada
akhirnya bermuara pada pembatalan fungsi syari’at Allah. Konsekuensinya adalah
bahwa Rasulullah saw telah membiarkan manusia tersesat, belum menjelaskan wahyu
yang di turunkan kepada manusia dengan jelas.
Dengan
begitu menjadi jelas bahwa telah ada penjelasan yang benar tentang aqidah islam
yang harus diikuti. Sama seperti adanya penjelasan tentang konotasi dalil-dalil
Al-qur’an dan Sunnah. Aqidah yang benar ini kepada mana kita harus berkometmen,
adalah aqidah yang di pahami dan diaplikasikan oleh Rasulullah saw beserta
seluruh sahabatnya dan para tabiin dan semua generasi ummat yang mengikuti
jejak mereka.
d) TAWAZUN
Tawazun menurut bahasa berarti
keseimbangan atau seimbang sedangkan menurut istilah tawazun merupakan suatu sikap
seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu
persoalan.
Konsep Tawazun
Tawazun sangat erat hubungannya dengan
pengaturan (manage) waktu.
Mengapa aktifitas harus
dimanage :
1. Agar mencapai tujuan hidup, Tanpa
pengaturan hidup yang matang, kemungkinan seseorang untuk mencapai keberhasilan
sangat kecil.
2. Agar dapat menunaikan hak-hak orang
lain, Tidak hanya diri kita sendiri yang memiliki hak untuk mendapatkan
sesuatu, tetapi juga orang lain pun memiliki hak atas diri kita. Misalnya,
memanage waktu untuk orang tua yang memang memiliki hak atas diri kita.
3. Karena kewajiban (pekerjaan) kita lebih banyak dari waktu yang tersedia Kita
tidak hanya mempunyai hak yang harus didapatkan saja, tetapi juga memiliki
rentetan kewajiban. Itu disebabkan karena sebetulnya di dalam hidup kita ini
tidak hanya memerankan satu peran saja.
Bagaimana cara memanage
waktu :
1.
Disiplin, disiplin
memang paling sulit untuk dilakukan, namun bila kita sudah berkomitmen, maka
ini tidaklah menjadi penghalang kita untuk menuju kearah yang lebih baik.
2.
Jangan tangguhkan
pekerjaan Menunda pekerjaan hanya akan mempersulit kita untuk mengerjakan
pekerjaan lain yang terus menerus datang setiap waktunya.
Bagaimana cara mengelola
aktifitas
1.
Tentukan tujuan hidupmu,
baik jangka pendek maupun panjang.
2.
Tentukan misi apa saja
yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan.
3.
Tentukan kapan saja misi
itu harus terlaksana.
Makna dan Hakekat Tawazun
Manusia dan agama lslam kedua-duanya
merupakan ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah Allah. Mustahil Allah
menciptakan agama lslam untuk manusia yang tidak sesuai Allah. Allah berfirman
:
فَأَقِمۡ
وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ
عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ
وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[10]
Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa
manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri
beragama (agama tauhid: Al-Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap
dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah
karena pengaruh lingkungan (Hadits: Setiap bayi terlahir daIam keadaan fitrah
(Islam) orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau
Majusi) Sesuai dengan fitrah Allah, manusia memiliki 3 potensi, yaitu Al-Jasad
(Jasmani), Al-Aql (akal) dan Ar-Ruh (rohani). Islam menghendaki ketiga dimensi
tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Perintah untuk menegakkan
neraca keseimbangan ini dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi :
وَٱلسَّمَآءَ
رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ ٧ أَلَّا
تَطۡغَوۡاْ فِي ٱلۡمِيزَانِ ٨ وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا
تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ ٩
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu”.[11]
Ketiga potensi ini
membutuhkan makanannya masing-masing. :
1. Jasmani (Al-jasad)
Jasmani merupakan
titipan Allah yang harus dijaga oleh kita, menjaga keseimbangan jasmani yaitu
dengan cara rajin olah raga, makan makanan yang sehat dan bergizi, tidur
teratur, menjaga kebersihan badan dan sebagainya. ketika kita sudah menjaga dan
memeliharanya dengan baik maka Allah swt memberikan balasan didunia berupa
kesehatan jasmani sehingga kalau badan kita sehat maka aktivitas pun akan
berjalan lancar.
2. Akal (Al-aql)
Akal adalah anugerah
dari Allah SWT yang harus kita syukuri karena dengan akal ini kita bisa
berpikir, coba anda bayangkan jikalau kita tidak mempunyai akal? Akal yang
Allah berikan ini harus kita jaga agar selalu berpikir positif yaitu dengan
bertafakur tentang alam semesta, selalu berhusnudzon kepada Allah dan
makhlukNya. Allah berfirman :
إِنَّ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal”.(Ali-Imran:190)
3. Rohani ( Ar-Ruh)
Ar-ruh atau hati
merupakan pengendali diri kita dan hati juga yang menentuka baik aati bruk nya
perbuata kita. hati ini harus kita jaga dengan banyak berzikir kepada Allah, menghadiri
majelis ilmu,mendengarkan ceramah yang dapat membangun hati kita dekat dengan
Allah sehingga kita terhindar dari perbuatan-perbuatan yang kotor.
Allah menginginkan
manusia hidup diatas keseimbangan, berjalan diatas fitrahnya. Manusia
diciptakan memiliki nafsu yang cenderung terhadap sesuatu. Dalam hidupnya,
manusia memiliki keinginan, kecenderungan untuk mengarahkan hidupnya sesuai
kecenderungannya. Tetapi dengan pengetahuannya, Allah menginginkan manusia
hidup diatas keseimbangan, berjalan diatas fitrahnya.
Dengan keseimbangan
manusia dapat meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, karena
pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya.
e) TAKAMUL
Takamul adalah lengkap, sempurna dan
bulat, berkumpul padanya aneka pandangan hidup. Hukum Islam membentuk umat
adalah dalam suatu kesatuan yang bulat walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan
berlain-lainan suku.
Hukum-hukum Islam, walaupun masa berganti
masa, namun dia tetap mempunyai karakter yang utuh, harmonis dan dinamis. Hukum
Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu
kesatuan. Karenanya hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara
ushul dengan furu’, satu sama lain saling melengkapi, saling menguatkan, ibarat
sebatang pohon, semakin banyak cabang-cabangnya semakin kokoh dan teguh
batangnya, semakin subur pertumbuhannya, semakin segar kehidupannya.
Di dalam berasimilasi, hukum Islam memberi
dan menerima, menolak, dan membantah menurut kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan. Dengan teguh dia memelihara kepribadiannya. Namun demikian dia
tidak membeku, tidak bertabiat jumud dan tidak pula berlebih-lebihan. Teori
syumul berwujud dalam kemampuannya menampung segala perkembangan dan segala
kecenderungan serta dapat berjalan seiring dengan perkembangan-perkembangan itu
dan menuangkannya dalam suatu acuan.
Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur,
luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia, permasalahan
kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama mahluk dengan
khaliq, serta tuntunan hidup manusia diakhirat terkandung didalamnya. Hukum
Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang muamalah, ibadah,
jinayah, dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku dan
memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah yang umum yang mesti dijalankan umat
manusia.
Islam disyari’atkan kepada nabi Muhammad
dan pengikutnya merupakan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, karena islam
yang kini telah dipelajari oleh seluruh manusia yang mengakuinya merupakan
agama wahyu terakhir dan tidak akan berubah sampai hari kiamat nanti. Firman
Allah:
ٱلۡيَوۡمَ
أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗا (المائدة: 3)
“Pada
hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”.[12]
B.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Taufiqiyyah adalah aqidah yang
terbatas pada wahyu.Maksudnya aqidah yang benar haruslah berdasarkan dengan Al
Qur’an dan terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya.
Ghaibiyyah adalah aqidah yang
berkenaan dengan masalah ghaib.Yang dimaksud adalah ghaib yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indra.
Shumuliyyah adalah aqidah yang
mengembangkan apa yang sudah ada di bumi atau yang sudah kita ketahui atau
memanfaatkan apa yang sudah diciptakan oleh Allah untuk kehidupan manusia.
Tawazun adalah suatu sikap
sesesorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu
persoalan.
Takamul adalah lengkap, sempurna, dan
berkumpul pada aneka pandangan hidup.Artinya hukum islam membentuk umat dalam
suatu kesatuan yang bulat walaupun mereka berbeda bangsa dan berlainan suku.
2.
Saran
Dengan makalah yang kami buat,kami
berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya pada karakteristik
ilmu tauhid yang meliputi taufiqiyyah,ghaibiyyah,shumuliyyah,tawazun,dan
takamul.
Untuk itu,dengan dibuatnya makalah
tentang karakteristik ilmu tauhid ini bisa menjadi sumber untuk membuka
cakrawala diskusi yang penuh dengan argumen dari berbagai sumber yang akan
memperluas wawasan kita dalam hal pengetahuan tentang karakteristik ilmu tauhid
secara terperinci.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad, Ibrahim bin. 2000. Pengantar Studi Aqidah Islam.
Jakarta:Robbani Press
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya Departemen Agama RI. Jakarta:PT. Hati Emas
Mabul. 2010. Tawabi’ul Ahkam. http://berandalqobak.blogspot.co.id/2010/10/tawabiul-ahkam.html
Monday, 10 October 2016
Akhlak tasawuf: Sejarah dan Pekembangan Ilmu Akhlak
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
A. Ilmu Akhlak diluar Agama Islam.
1. Akhlak pada Zaman Yunani
Pertumbuhan
dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana
(500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah
pada penyelidikannya mengenai alam.
Sejarah
mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di
bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates[1]
dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha
sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu
pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu
tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu
pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu.[2]
Selanjutnya,
Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya
ialah Cynics[3] dan Cyrenics[4]. Golongan
Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444-370
SM.Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan,
dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai
konsekuensinya,golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia
sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak
suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang,
yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Adapun
golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippos[5] yang
labu di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat
bahwamencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya
tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang
tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian
menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan
dan mengutamakannya.
Pada tahap
selanjutnya datanglah Plato[6]
(427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates.
Dalam pandangan terhadap akhlak,Plato berupaya memadukan antara unsur yang
datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari
diri manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur
dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak.
Perpaduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi orang yang
utama.
Setelah Plato,
datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles
berupaya membangun suatu paham yang khas, danAristoteles berpendapat bahwa
tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah
bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan
akal dengan sebaik-baiknya.
Atistoteles[7]
juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa
tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan
misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah
tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.
Selanjutnya
pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics[8]
dan Epicurus[9].
Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan.
Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah
dikemukakan di atas. Sementara Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham
Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan juga di atas. Paham mereka banyak
diikuti di zaman baru.
2. Akhlak Pada Zaman Nasrani
Pada akhir abad ke 3 Masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam
kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak.
Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di
pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain itu agama Nasrani
menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat
pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan.
Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri
manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari
paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini
suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup
menyendiri[10].
3. Akhlak pada abad Pertengahan (bangsa romawi)
Kehidupan
masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah
diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar
adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran
untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak
bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki
perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu
penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun
demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato,
Aristoteles dan
Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat
yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan
demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu
adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan
ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis
(1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan
Italia (1226-1274).
Corak ajaran
akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran
agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat
dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum
Muktazilah[11].
B. Akhlak Pada Agama Islam
1. Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa
Sebelum Islam
Bangsa Arab
pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani
(Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian,
Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman
Al-Hakim[12]
, Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim
Ath-Tha’i.
Dapat dipahami
bahwa Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang
minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan
mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum
sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf Yunani
kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan akhlak.
2. Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
Islam datang
mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu
di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya
pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana
halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia,
Allah SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti
kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari
manusia, seperti dusta dan kezaliman.
Dalam Islam,
tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang
akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan
Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam
islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
teori.[13]
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak
adalah Ali bin Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya
untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam
risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan.
Kandungn risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang
banyak dikutip oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari
dalam kitanya Az-Zawajir wa Al-Mawaizh.
Kedua, tokoh Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah
Isma’il bin Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis
kitab Al-Mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali
dikenal dalam Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun
mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar
bin Yasir, Nauval Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
Ketiga, pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis
kitan Al-Mani’at min Dukhul Jannah. Tokoh lainnya yang
berbicara masalah akhlak adalah:
1. Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf
lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang
akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani (Kesehatan Rohani). Buku
ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya. Kitab ini merupakan filsafat
akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral manusia.
2. Pada ke-4 H, Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis
kitab Al-Adab dan Makarim Al-Akhlaq.Pada abad ini
dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak.
Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428
H).
3. Pada ke-5, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis
kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan Adab
Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak
yangsebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan
Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan
pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[14]
4. Pada abad ke-6 H, Warram bin Ali
al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada abad ke-7 H, Syaikh Khawajah nashir
Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah wa Awshaf
Asy-Syraf wa Adab Al-Muta’allimin.
Pada abad
berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami,
Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan
bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi,
dan Bihar Al-Anwar.
C.
Akhlak Pada Zaman Baru
Pada abad pertengahan ke-15
mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali
juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat
pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran
yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka
kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka bangun didasarkan
pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti
gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada
manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini
menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya
tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan,
dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya
pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka
menjadi anggota masyarakat yang mandiri.[15]
Ahli filsafat Perancis yaitu
Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1. Tidak
menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang
didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja,
wajib di tolak.
2. Di
dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang
semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih
dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3. Wajib
bagi kita jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga
menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada
paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan
Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran
pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham
(1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari
faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah keadaannya muncul Green
(1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham
pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pertumbuhan
dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana
(500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah
pada penyelidikannya mengenai alam.
Pada akhir abad ke 3 Masehi
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam
kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak.
Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di
pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Kehidupan
masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu
gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah
diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar
adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran
untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak
bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki
perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu
penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Bangsa Arab
pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani
(Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian,
Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman
Al-Hakim , Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma
(530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Islam datang
mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu
di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya
pula, alam dapat berjalan secara beraturan. Dalam Islam, tidak diragukan lagi
bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan,
keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak
Pada masa
modern banyak bermunculan para filosof dan pemikir yang banyak melakukankritik
dan pembaharuan termasuk di bidang akhlak. Selanjutnya pandangan akhlak mereka
diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat
yang mandiri.
2.
Saran
Sebagai
mahasiswa hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah perkembangan
akhlak untuk memperbaiki etika dan pribadi serta menjadi agen of change, karena
moral yang semakin bobrok seiring perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani,
filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV.Pustika
Setia,2008
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak),
Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Ibnu
Miskawaih, Menuju Kesempurnaan
Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985
[1]
. socrates adalah filsuf dari Athena dan merupakan salah satu
figur paling penting dalam tradisi filosofi barat. Socrates lahir di Athena,
dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani yaitu
Socrates, Aris toteles dan Plato. (Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008,177)
[3] . Sekelompok
filsuf Yunani dari sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup
adalah hidup dengan prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara
tokohnya adalah Antisthenes yang menjadi murid Socrates. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cynic), 4 oktober 2016
[4] . Sekelompok
filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara
tokohnya adalah Aritippus of Cyrene (Lahir 435 SM). (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cyrenics), 4 oktober 2016
[5]. Aristippos adalah salah satu seorang filsuf
dari Mazhab Hedonis, ia adalah pendiri Mazhab tersebut. Ia salah satu murid
Socrates, dan mengembangkan pandangan Socrates bahwa keutamaan hidup manusia
adalah mencari kebaikan. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Aristippos), 4
oktober 2016
[6]. Hakim dan Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai
Teofisolofi………, 190
[7]. Ibid, 215
[8]. Kaum Stoics adalah kelompok yang menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap
kemudian berkembang pesat di Roma. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoic), 4 oktober 2016
[9]. Epicurus dilahirkan di Samos dan memperoleh pendidikan
di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Epikuros) 4 oktober 2016
[11]. Ibid, 65-66
[12]. Luqman
Al-Hikmah adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman yang terkenal
karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama
panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim). 27 September 2016
[15]
. Nata, Akhlak Tasawuf,……………, 69
Subscribe to:
Posts (Atom)