Wednesday, 12 October 2016

Ilmu Tauhid : Karakteristik Aqidah Islam

A.  PEMBAHASAN
1.    KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM

a)   TAUFIQIYAH
Kata Taufiqiyah adalah bentuk taf’il dari akar kata waqf yang berarti pelanggaran dan pengungkungan. Imbuhan ya berfungsi menisbatkan. Begitu pula dengan huruf taa. Jadi kata ini merupakan bentuk masdhar shina’i.
Pertama, Rasulullah SAW telah menjelaskan semua rincian muatan Aqidah Islam. Beliau tidak membiarkan satu bagian pun lepas dari penjelasan. Sebab Aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh muatan agama. Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka yang menjadikan kamu hakim dalam perkara mereka yang perselisihkan, kemudian tidak merasa keberatan dalamdiri dan mereka menerima apa yang kamu putuskan”.[1]

Kedua, harus konsisten dengan lafaz dan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam menyatakan berbagai hal tentang Aqidah, kita tidak menggunakan lafaz-lafaz yang tidak digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi ini merupakan pembatas sumber Aqidah Islam, baik pada lafaz maupun gaya ungkapannya. Ketidak mampuan akal menemukan dalil untuk menemukan muatan-muatan tersebut dianggap sebagai penetap atas pengetahuan tentang adanya dalil yang menetapkan muatan-muatan itu, dan tidak dinggap sebagai kemungkinan adanya dalil lain yang menetapkan muatan-muatan aqidah seperti dalil pendengaran (Al-Qur’an dan Sunnah) dan dalil indra.
Dengan demikian, maka lafaz-lafaz yang digunakan dalam Aqidah Islam ada dua macam:
1.        Lafaz-lafaz dari Al-Qur’an dan Sunnah. Lafaz-lafaz ini dianggap benar jika ia sesuai dengan makna-maknanya yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
2.        Lafaz-lafaz yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Lafaz-lafaz ini ada yang sudah menjadi istilah yang konotasinya terhadap kebenaran bersifat mutlak dan jelas.
Semua lafaz yang keluar dari lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah dengan segala konotasinya, tidak boleh digunakan dalam bidang Aqidah. Lafaz semacam itu dianggap sebagai lafaz bid’ah. Selanjutnya, lafaz-lafaz bid’ah ada empat macam:
Ø  Pertama, lafaz-lafaz umum yang maknanya tidak bisa dibatasi karena keragaman pengguna.
Ø  Kedua, lafaz-lafaz dengan konotasi yang beragam dan tidak ada alas an penguat untuk menggunakan lafaz-lafaz tersebut pada satu makna tunggal. Lafaz-lafaz semacam ini tidak boleh digunakan dalam bidang aqidah untuk menghindari percampur bauran kebenaran dan kebatilan.
Ø  Ketiga, lafaz-lafaz yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan makna-makna yang sudah jelas dan tegas, namun digunakan di luar makna-makna tersebut atau diberikonotasi lain yang tidak masuk dalam subtansi maknanya yang sebenarnya. Penggunaan lafaz ini dengan makna seperti itu dianggap bid’ah.
Ø  Keempat, lafaz-lafaz yang hanya digunakan untuk konotasi kebenaran, tapi kemudian digunakan untuk konotasi kebatilan dengan maksud menjelek-jelekan kebenaran dan membuat orang menghindarinya,atau karena memang penganut madzab itu meyakini bahwa lafaz-lafaz itu memang berkonotasi batil. Ini juga dianggap bid’ah yang haram.
Konsekuensi-konsekuensi Taufiqiyah
Ø  Membatasi sumber-sumber pengmbilan Aqidah Islam hanya dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan segala makna dan konotasinya.
Ø  Konsisten dalam penggunaan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah dalam mengungkap hakikat-hakikat aqidah.
Ø  Menggunakan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan makna-makna yang sebenarnya.
Ø  Tidak member muatan makna lain terhadap lafaz-lafaz Al-Qur’an dan Sunnah yang memang tidak dikandungnya.
Ø  Dalam menjelaskan hakikat-hakiakat aqidah kita hanya menggunakan lafaz-lafaz yang memang hanya digunakan untuk makna-makna dan hakikat tersebut.
Ø  Apa yang dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah kita diamkan dan menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah.
Ø  Komitmen dengan hakikat-hakikat aqidah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ø  Tidak boleh menetapkan atau menafikan kecuali apa yang ditetapkan atau dinafikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.


b)   GHAIBIYAH
Kata ghoibiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada kata ghaib(gaib). Yaitu apa yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra (tidak dapat di cium, diraba, didengar). Allah berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٧٨
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, pengliatan dan hati. Sangat sedikitlah kamu bersyukur”.[2]

Ketika kita mengatakan bahwa salah satu spesifikasi Aqidah Islam adalah keghaiban, itu sama sekali tidak berarti bahwa semua muatan aqidah bersifat gaib dan tidak dapat ditangkap panca indra dan akal. Tetapi maksudnya adalah bahwa salah satu spesifikasi Aqidah Islam adalah bahwa ia percaya kepada apa yang gaib seperti yang difirmankan Allah tentang sifat-sifat orang beriman:
الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang  bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka”.[3]

Iman kepada yang gaib merupakan fitrah manusia. Ada banyak demensi kehidupan kita yang dulu merupakan sesuatu yang gaib, tapi kini telah menjadi realitas yang tampak secara konkrit. Ini disebut kegaiban terikat, yaitu kegaiban yang telah ditakdirkan dan diizinkan Allah untuk dapat ditemukan oleh seluruh atau sebagian manusia.
Istilah ilmu ghoib yang sering disebut dalam Al-Qur’an biasanya digunakan untuk 3 bentuk keghoiban. Yaitu, keghoiban mutlak, keghoiban terikat relatif, keghoiban terikat non relatif.

Keghoiban mutlak dapat dilihat dalam ayat berikut :
إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[4]

Keghoiban terikat relatif dapat dilihat dalam ayat berikut :
ذَٰلِكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهِ إِلَيۡكَۖ وَمَا كُنتَ لَدَيۡهِمۡ إِذۡ أَجۡمَعُوٓاْ أَمۡرَهُمۡ وَهُمۡ يَمۡكُرُونَ ١٠٢
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya”.[5]


Keghoiban terikat non relatif dapat dilihat dalam ayat berikut :
الٓمٓ ١  غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢  فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ ٣
“Alif Laam Mii. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang”.[6]

Keghoiban itu hanya diketahui oleh Allah, dan itu merupakan keistimewaan baginya, Allah berfirman :
وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ١٢٣
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”.[7]

Jika pengetahuan tentang yang ghoib itu merupakan hak prerogatif yang menjadi kekhususan Allah, maka mencari hakikat keghoiban itu pada selain adalah betuk penyia-nyiaan waktu. Dan siapa saja mengklaim mengetahui keghoiban tidak diragukan lagi kebohongannya. Bahkan menyakini adanya pihak yang mengetahui keghoiban selain allah adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari islam. Allah berfirman :
مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطۡلِعَكُمۡ عَلَى ٱلۡغَيۡبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجۡتَبِي مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُۖ فَ‍َٔامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۚ وَإِن تُؤۡمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمۡ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٧٩
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.[8]

Dari sini menjadi jelaslah kebohongan orang-orang yang mengklaim mengetahui keghoiban seperti para peramal dan dukun serta lainnya. Menyakini bahwa mereka mengetahui keghoiban adalah kekufuran dan kembali kepada mereka untuk menanyakan suatu yang ghoib tanpa menyakini bahwa mereka mengetahui yang ghoib adalah dosa besar.
Beriman kepada yang goib adalah dasar paling penting dari keseluruhan muatan aqidah islam, dimana seorang tidak disebut Muslim kecuali dengan keimanan tersebut. Walaupun itu tidak berarti bahwa manusia harus berlebihan menyakini yang ghoib yang sebenarnya tidak ada sehingga ia terjerumus dalam khurafat. Itu adalah kelatahan dalam memahami makna iman kepada yang ghoib. Keghoiban yang harus diyakini adalah keghoiban yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta menyerahkannya kepada ilmu Allah, tanpa perlu tenggelam dalam khayalan-khayalan batil serta waham-waham palsu.
c)      SYUMULIYAH
Aqidah islam adalah aqidah yang diturunkan untuk tugas khilafah manusia dibumi yang telah ditakdirkan untuk eksis selamanya hingga hari kiamat.
Arti syumuliyah adalah integralitas dimensi substansi dan aplikasi. Dimensi substansi berarti bahwa aqidah ini mempunyai persepsi yang integral tentang masalah-masalah besar manusia-dimana banyak manusia yang tersesat dalam mencari dan memahaminya-seperti persepsi tentang Tuhan, manusia, alam dan kehidupan.
Dalam alam besar itu manusia hanya merupakan salah satu ciptaan Allah. Namun demikian, manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa selain kekuatan yang diberikan oleh Allah Tuhan semesta alam.
Maka hubungan manusia dengan alam adalah hubungan pendayagunaan. Allah berfirman;
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ١٣
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.[9]

Allah adalah sembahan yang benar kepada siapa manusia harus mengerahkan seluruh tenaga dan potensinya untuk menunaikan ibadah dan mensyukuri nikmatnya yang tak terhingga.
Alam adalah panggung tempat manusia mementaskan fungsi khilafahnya. Maka ia ditundukkan menjamin keberlangsungan fungsi tersebut. Tetapi keduanyaadalah ciptaan tuhan yang maha pemurah, yang menciptakan segalanya dengan sempurna dan memberikan semua fasilitas yang di butuhkan makhluk-Nya untuk hidup dan bertahan hidup.


Kewajiban Komitmen Kepada Aqidah yang Benar
Aqidah yang benar adalah aqidah yang telah di tetapkan dengan lafas dan makna AL-qur’an dan sunnah. Itulah aqidah kepada apa kita harus memberi komitmen. Kita tidak boleh mengatakan bahwa terdapat perbedaan dalam memahami konotasi dalil-dalil Al-qur’an dan Sunnah.
Asumsi perbedaan pemahaman terhadap konotasi dalil-dalil tersebut adalah sama dengan mengasumsikan adanya kebenaran yang tidak di kenal. Asumsi itu sesungguhnya bertujuan membatalkan keabsahan nash-nash Al-qur’an dan Sunnah yang pada akhirnya bermuara pada pembatalan fungsi syari’at Allah. Konsekuensinya adalah bahwa Rasulullah saw telah membiarkan manusia tersesat, belum menjelaskan wahyu yang di turunkan kepada manusia dengan jelas.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa telah ada penjelasan yang benar tentang aqidah islam yang harus diikuti. Sama seperti adanya penjelasan tentang konotasi dalil-dalil Al-qur’an dan Sunnah. Aqidah yang benar ini kepada mana kita harus berkometmen, adalah aqidah yang di pahami dan diaplikasikan oleh Rasulullah saw beserta seluruh sahabatnya dan para tabiin dan semua generasi ummat yang mengikuti jejak mereka.

d)   TAWAZUN
Tawazun menurut bahasa berarti keseimbangan atau seimbang sedangkan menurut istilah tawazun merupakan suatu sikap seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu persoalan.

Konsep Tawazun
Tawazun sangat erat hubungannya dengan pengaturan (manage) waktu.
Mengapa aktifitas harus dimanage :
1.     Agar mencapai tujuan hidup, Tanpa pengaturan hidup yang matang, kemungkinan seseorang untuk mencapai keberhasilan sangat kecil.
2.     Agar dapat menunaikan hak-hak orang lain, Tidak hanya diri kita sendiri yang memiliki hak untuk mendapatkan sesuatu, tetapi juga orang lain pun memiliki hak atas diri kita. Misalnya, memanage waktu untuk orang tua yang memang memiliki hak atas diri kita.
3.    Karena kewajiban (pekerjaan) kita lebih banyak dari waktu yang tersedia Kita tidak hanya mempunyai hak yang harus didapatkan saja, tetapi juga memiliki rentetan kewajiban. Itu disebabkan karena sebetulnya di dalam hidup kita ini tidak hanya memerankan satu peran saja.
Bagaimana cara memanage waktu :
1.      Disiplin, disiplin memang paling sulit untuk dilakukan, namun bila kita sudah berkomitmen, maka ini tidaklah menjadi penghalang kita untuk menuju kearah yang lebih baik.
2.      Jangan tangguhkan pekerjaan Menunda pekerjaan hanya akan mempersulit kita untuk mengerjakan pekerjaan lain yang terus menerus datang setiap waktunya.
Bagaimana cara mengelola aktifitas
1.      Tentukan tujuan hidupmu, baik jangka pendek maupun panjang.
2.      Tentukan misi apa saja yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan.
3.      Tentukan kapan saja misi itu harus terlaksana.
Makna dan Hakekat Tawazun
Manusia dan agama lslam kedua-duanya merupakan ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah Allah. Mustahil Allah menciptakan agama lslam untuk manusia yang tidak sesuai Allah. Allah berfirman :
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[10]

Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (agama tauhid: Al-Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid,  itu hanyalah karena pengaruh lingkungan (Hadits: Setiap bayi terlahir daIam keadaan fitrah (Islam) orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi,  Nasrani atau Majusi) Sesuai dengan fitrah Allah, manusia memiliki 3 potensi, yaitu Al-Jasad (Jasmani), Al-Aql (akal) dan Ar-Ruh (rohani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Perintah untuk menegakkan neraca keseimbangan ini dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi :
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ ٧  أَلَّا تَطۡغَوۡاْ فِي ٱلۡمِيزَانِ ٨ وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ ٩
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”.[11]
Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing. :
1.    Jasmani (Al-jasad)
Jasmani merupakan titipan Allah yang harus dijaga oleh kita, menjaga keseimbangan jasmani yaitu dengan cara rajin olah raga, makan makanan yang sehat dan bergizi, tidur teratur, menjaga kebersihan badan dan sebagainya. ketika kita sudah menjaga dan memeliharanya dengan baik maka Allah swt memberikan balasan didunia berupa kesehatan jasmani sehingga kalau badan kita sehat maka aktivitas pun akan berjalan lancar.
2.    Akal (Al-aql)
Akal adalah anugerah dari Allah SWT yang harus kita syukuri karena dengan akal ini kita bisa berpikir, coba anda bayangkan jikalau kita tidak mempunyai akal? Akal yang Allah berikan ini harus kita jaga agar selalu berpikir positif yaitu dengan bertafakur tentang alam semesta, selalu berhusnudzon kepada Allah dan makhlukNya. Allah berfirman :
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.(Ali-Imran:190)

3.    Rohani ( Ar-Ruh)
Ar-ruh atau hati merupakan pengendali diri kita dan hati juga yang menentuka baik aati bruk nya perbuata kita. hati ini harus kita jaga dengan banyak berzikir kepada Allah, menghadiri majelis ilmu,mendengarkan ceramah yang dapat membangun hati kita dekat dengan Allah sehingga kita terhindar dari perbuatan-perbuatan yang kotor.
Allah menginginkan manusia hidup diatas keseimbangan, berjalan diatas fitrahnya. Manusia diciptakan memiliki nafsu yang cenderung terhadap sesuatu. Dalam hidupnya, manusia memiliki keinginan, kecenderungan untuk mengarahkan hidupnya sesuai kecenderungannya. Tetapi dengan pengetahuannya, Allah menginginkan manusia hidup diatas keseimbangan, berjalan diatas fitrahnya.
Dengan keseimbangan manusia dapat meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, karena pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya.
e)    TAKAMUL
Takamul adalah lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya aneka pandangan hidup. Hukum Islam membentuk umat adalah dalam suatu kesatuan yang bulat walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlain-lainan suku.
Hukum-hukum Islam, walaupun masa berganti masa, namun dia tetap mempunyai karakter yang utuh, harmonis dan dinamis. Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan. Karenanya hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara ushul dengan furu’, satu sama lain saling melengkapi, saling menguatkan, ibarat sebatang pohon, semakin banyak cabang-cabangnya semakin kokoh dan teguh batangnya, semakin subur pertumbuhannya, semakin segar kehidupannya. 
Di dalam berasimilasi, hukum Islam memberi dan menerima, menolak, dan membantah menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Dengan teguh dia memelihara kepribadiannya. Namun demikian dia tidak membeku, tidak bertabiat jumud dan tidak pula berlebih-lebihan. Teori syumul berwujud dalam kemampuannya menampung segala perkembangan dan segala kecenderungan serta dapat berjalan seiring dengan perkembangan-perkembangan itu dan menuangkannya dalam suatu acuan.
Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia, permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama mahluk dengan khaliq, serta tuntunan hidup manusia diakhirat terkandung didalamnya. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang muamalah, ibadah, jinayah, dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah yang umum yang mesti dijalankan umat manusia. 
Islam disyari’atkan kepada nabi Muhammad dan pengikutnya merupakan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, karena islam yang kini telah dipelajari oleh seluruh manusia yang mengakuinya merupakan agama wahyu terakhir dan tidak akan berubah sampai hari kiamat nanti. Firman Allah:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗا (المائدة: 3)
 “Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”.[12]



B.     PENUTUP

1.             Kesimpulan
Taufiqiyyah adalah aqidah yang terbatas pada wahyu.Maksudnya aqidah yang benar haruslah berdasarkan dengan Al Qur’an dan terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya.
Ghaibiyyah adalah aqidah yang berkenaan dengan masalah ghaib.Yang dimaksud adalah ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Shumuliyyah adalah aqidah yang mengembangkan apa yang sudah ada di bumi atau yang sudah kita ketahui atau memanfaatkan apa yang sudah diciptakan oleh Allah untuk kehidupan manusia.
Tawazun adalah suatu sikap sesesorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu persoalan.
Takamul adalah lengkap, sempurna, dan berkumpul pada aneka pandangan hidup.Artinya hukum islam membentuk umat dalam suatu kesatuan yang bulat walaupun mereka berbeda bangsa dan berlainan suku.
2.             Saran                                                        
Dengan makalah yang kami buat,kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya pada karakteristik ilmu tauhid yang meliputi taufiqiyyah,ghaibiyyah,shumuliyyah,tawazun,dan takamul.
Untuk itu,dengan dibuatnya makalah tentang karakteristik ilmu tauhid ini bisa menjadi sumber untuk membuka cakrawala diskusi yang penuh dengan argumen dari berbagai sumber yang akan memperluas wawasan kita dalam hal pengetahuan tentang karakteristik ilmu tauhid secara terperinci.



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Ibrahim bin. 2000. Pengantar Studi Aqidah Islam. Jakarta:Robbani Press
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya Departemen Agama RI. Jakarta:PT. Hati Emas





[1]. QS. An-Nisa’:65
[2] . QS. Al-Mu’minuun:78
[3]QS. Al-Baqarah:1-3
[4] . QS. Luqman:34
[5] . QS.Yusuf: 102
[6] . QS. Ar-Ruum: 1-3
[7] . QS. Hud: 123
[8] . QS. Ali imron: 179
[9] . Ibid, 499
[10] . QS. Ar-Rum: 30
[11]. QS.  Ar-Rahman: 7-9
[12] . QS. Al-Maidah :3

Monday, 10 October 2016

Akhlak tasawuf: Sejarah dan Pekembangan Ilmu Akhlak



BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
A.  Ilmu Akhlak diluar Agama Islam.
1.    Akhlak pada Zaman Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Socrates[1] dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu.[2]
Selanjutnya,  Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya ialah Cynics[3] dan Cyrenics[4]. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444-370 SM.Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai konsekuensinya,golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang, yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippos[5] yang labu di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwamencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang tingkat kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan mengutamakannya.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato[6] (427-347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates. Dalam pandangan terhadap akhlak,Plato berupaya memadukan antara unsur yang datang dari diri manusia sendiri, dan unsur yang datang dari luar. Unsur dari diri manusia berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak. Perpaduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi orang yang utama.
Setelah Plato, datang pula Aristoteles (394-322 SM). Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles berupaya membangun suatu paham yang khas, danAristoteles berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
Atistoteles[7] juga dikenal sebagai tokoh yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Demikian dengan keutamaan lainnya.

Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics[8] dan Epicurus[9]. Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. Sementara Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan juga di atas. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru.

2.    Akhlak Pada Zaman Nasrani
Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup menyendiri[10].

3.    Akhlak pada abad Pertengahan (bangsa romawi)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang  telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran  akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah[11].

B.  Akhlak Pada Agama Islam
1.    Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Sebelum Islam
Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim[12] ,  Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar  pemikiran yang minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf Yunani kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan akhlak.

2.    Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia, Allah SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari manusia, seperti dusta dan kezaliman.
Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori.[13]
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan. Kandungn risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang banyak dikutip oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari dalam kitanya Az-Zawajir wa Al-Mawaizh.
Kedua, tokoh Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Isma’il bin Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar bin Yasir, Nauval Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
Ketiga, pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitan Al-Mani’at min Dukhul Jannah. Tokoh lainnya yang berbicara masalah akhlak adalah:
1.  Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani (Kesehatan Rohani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya. Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral manusia.
2.  Pada ke-4 H, Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis kitab Al-Adab dan Makarim Al-Akhlaq.Pada abad ini dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428 H).
3.  Pada ke-5, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan Adab Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yangsebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[14]
4.  Pada abad ke-6 H, Warram bin Ali al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5.  Pada abad ke-7 H, Syaikh Khawajah nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Syraf  wa Adab Al-Muta’allimin.
Pada abad berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami, Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.

C.           Akhlak Pada Zaman Baru
Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak.  Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.[15]
Ahli filsafat Perancis yaitu Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1.  Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja, wajib di tolak.
2.  Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3.  Wajib bagi kita jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham (1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah keadaannya muncul Green (1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.




BAB III
PENUTUP

1.             Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu otang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang  telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim ,  Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627), dan Hatim Ath-Tha’i.
Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan. Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak
Pada masa modern banyak bermunculan para filosof dan pemikir yang banyak melakukankritik dan pembaharuan termasuk di bidang akhlak. Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.
2.             Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah perkembangan akhlak untuk memperbaiki etika dan pribadi serta menjadi agen of change, karena moral yang semakin bobrok seiring perkembangan zaman.


DAFTAR PUSTAKA


Hakim,Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani, filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985




[1] .  socrates adalah filsuf dari Athena dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofi barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani yaitu Socrates, Aris toteles dan Plato. (Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi, Bandung: CV.Pustika Setia,2008,177)
[2].   Ahmad Amin, Etika(Ilmu Akhlak), Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, 141
[3] .  Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup adalah hidup dengan prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara tokohnya adalah Antisthenes yang menjadi murid Socrates. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cynic), 4 oktober 2016
[4] .  Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara tokohnya adalah Aritippus of Cyrene (Lahir 435 SM). (https://en.m.wikipedia.org/wiki/cyrenics), 4 oktober 2016
[5].   Aristippos adalah salah satu seorang filsuf dari Mazhab Hedonis, ia adalah pendiri Mazhab tersebut. Ia salah satu murid Socrates, dan mengembangkan pandangan Socrates bahwa keutamaan hidup manusia adalah mencari kebaikan. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Aristippos),  4 oktober 2016
[6].   Hakim dan Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofisolofi………, 190
[7].   Ibid, 215
[8].   Kaum Stoics adalah kelompok yang menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap kemudian berkembang pesat di Roma. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoic), 4 oktober 2016
[9].   Epicurus dilahirkan di Samos dan memperoleh pendidikan di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Epikuros) 4 oktober 2016
[10]. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, 55-56
[11]. Ibid, 65-66
[12]. Luqman Al-Hikmah adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman yang terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim). 27 September 2016
[13].        Nata, Akhlak Tasawuf,……...., 57
[14] . Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985, 14
[15] . Nata, Akhlak Tasawuf,……………, 69